“ Hijrahlah, dengan meninggalkan kampung halaman
karena Allah, demi menyelamatkan diri dari kekacauan dan untuk mengharapkan rahmad
Allah, Yang Maha Pengampun, lagi Maha Penyanyang. ”
Peluit panjang KM Egon sudah terdengar, tak lama
lagi kapal akan segera menjauh dari pantai Tanjung Mas Semarang. Para awak kapal
sibuk menggulung tali tampar yang mengikat sauh di tiang beton bibir pantai.
Para crew band kapal menyanyikan lagu ‘ Sayonara’ dengan penuh penghayatan,
sebagai salam perpisahan buat para keluarga pengantar penumpang, juga buat
Tanah Jawa, yang lambat laun tampak menjauh.
Kegundahan berkecamuk dalam hati Imoeng, petih di
hatinya harus dia tahan dengan seribu asa yang akan menjelang di pulau tujuan,
yaitu pulau Borneo atau Kalimantan. Imoeng berusaha untuk tidak meneteskan air
mata di depan Ayuk anaknya, yang saat ini ada bersamanya. Ayuk yang baru kelas 3 SD terpaksa pamit pindah
dari sekolah, untuk mengikuti ibunya ke Borneo. Di sekolah mana nanti Ayuk akan
melanjutkan sekolah, itu bukan masalah. Yang penting ayah dan ibunya bisa
berkumpul kembali, menjadi keluarga yang utuh lagi seperti dulu.
Jam 4 pagi Imoeng dan Ayuk meninggalkan rumah di
sebuah kampung di Kudus. Kepergian Imoeng ke Kalimantan menjadi pilihan
terakhir, setelah lebih dari 3 tahun suaminya yang sudah berada di Kalimantan
selama 5 tahun lebih, mengajaknya untuk pindah ke Kalimantan tak pernah
dihiraukannya. Karena tidak mau diajak pindah ke Kalimantan, Sofian tidak mau
lagi mengirim uang, dan pulangpun hanya setahun sekali, sebagai bentuk
penghakimanan terhadap istrinya yang tidak mau pindah ke Kalimantan. Imoeng
bukannya tidak ingin menuruti keinginan suaminya untuk pindah ke Kalimantan,
namun di merasa enggan meninggalkan tanah kelahiran dan berbagai kewajiban
hutang-piutang yang harus diselesaikannya.
Imoeng terpaksa mencari nafkah sendiri untuk
menafkahi keempat anaknya. Dua anak dari hail pernikahannya dengan suaminya
dahulu, dan dua anak dari pernikahannya dengan Sofian. Apalagi dia baru saja
merenovasi rumah yang dibangun bersama Sofian setelah anak mereka lahir. Dana
yang tidak sedikit dalam merenovasi rumah sebagiannya merupakan dana pinjaman.
Akibatnya Imung mulai terjerat hutang sana sini, berbagai cara ditempuh untuk
tutup lubang gali lubang. Belum lagi kebutuhan hidup untuk anak-anaknya juga.
Hembusan selingkuh dengan beberapa lelaki membuat keidupan Imoeng, terseret
kian kemari tertiup angin. Gangguan para
lelaki yang tahu kalau suaminya tidak pernah pulang, menyeretnya pada pusaran
hidup yang melelahkan.
Lambat laun Imoeng dikejar banyak orang, yang hendak
menagih hutang, maupun yang merasa terganggu karena suaminya mendekatinya.
Memang Imoeng sudah tidak muda lagi
namun masih kelihatan cantik, dengan kulitnya yang kuning bersih dan hidung
mancung, postur tubuhnya yang pas banyak menarik perhatian kaum lelaki.
Terutama laki-laki gatel yang tidak puas pada istri-istrinya.
Sofian, walaupun berada di Borneo namun dia
mengetahui sepak terjang yang dilakukan dan di alami istrinya. Untuk itu
memberi somasi tegas pada Imoeng. Ikut ke Borneo apa bercerai darinya.
Imoeng tidak punya pilihan lain selain mengikuti
kemauan suaminya. Apalagi sore sebelumnya beberapa orang datang ke rumahnya mengatakan bahwa mereka hendak membakar
rumahnya bila esok pagi Imoeng tidak bisa memenuhi kewajibannya membayar hutang
pada seorang rentenir yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Jeratan hutang pada
renternir membuat hutang-hutang itu menjadi berlipat-lipat jumlahnya. Imoeng
tidak mampu lagi mencicil walau itu bunganya saja. Hidupnya semakin terhimpit,
saudara-saudaranya juga tak ada yang bisa
membantu.
Maka keputusan untuk pindah ke pulau Boerneo sudah
tak bisa ditawar lagi, suka maupun tidak suka dia harus mengikuti keinginan
suaminya.
Sofian tidak bisa menjemput istrinya untuk bersama-sama
berangkat ke pulau Borneo. Hanya 2 buah tiket kapal yang dikirimnya. Untuk
Imoeng dan Ayuk anak ke tiganya. Anaknya yang pertama, Eko sudah berada di
Kalimantan untuk bekerja bersama Sofian. Sedang Dwi anak keduanya tidak mau
diajak pindah sekarang, dia ingin tetap tinggal di Jawa dulu, walaupun
sebenarnya Dwi sudah dikeluarkan dari sekolah karena bebrapa bulan tidak
membayar SPP dan sering mbolos sekolah. Sedang Ais, anak bungsunya yang masih
kelas 1 SD terpaksa dititipkan di rumah neneknya, sampai ada kepastian tempat
tinggal di Kalimantan baru Ais akan dijemput, begitu rencananya.
Lamunannya buyar ketika deburan ombak laut Jawa
mulai terasa menghantam dinding-dinding kapal. Kepalanya mulai terasa pening,
Kasur busa tipis digelar di Geladak kapal yang khusus diperuntukkan buat
penumpang kelas 3. Imoeng juga malas untuk antri mengambil jatah makan
siangnya, beberapa kerat roti yang dibawanya diberikan pada Ayuk anaknya, yang
mulai mabuk laut.
“ Mak...kapan kita sampai, kepala Ayuk pusing sekali
tidak bisa tidur, rasa diombang-ambing
tak selesai-selesai . “ Saat mereka sedang berada di buritan kapal.
Imoeng dan Ayuk sengaja keluar dari Geladak untuk menikmati udara dingin pagi
hari di tengah lautan. Apalagi di Geladak dan Lambung kapal penuh dengan orang-orang
yang sedang tiduran. Sangat membosankan.
“Sebentar lagi kita sampai Yuk...lihatlah kapal yang
kita tumpangi sudah memasuki sungai Barito, kapal kecil pemandu jalan pun sudah
mengarahkan jalan kapal ini...,sabarlah pasti bapakmu sudah menjemput kita. ”
“ Ayuk juga lapar Mak...setelah semalam berapa kali
mabuk dan muntah .”
“ Iya...sabarlah Yuk...lebih baik kita keburitan
kapal saja sambil meniapkan barang-barang kita biar mudah nanti kita turun
kapal, kita bisa melihat cekatannya para awak kapal menyiapkan kapal hendak
berlabuh .”
“ Iya...juga yuk kita bangun ke dek samping saja
ya...dekat tangga kita turun nanti, Ayuk ingin melihat mas-mas berseragam putih
itu “
Selanjutnya Imoeng dan Ayuk mengemasi barang-barang
yang mereka bawa, untuk dibawa ke deck kiri kapal. Gelombang air laut juga
sudah tidak begitu terasa lagi, karena kapal sudah memasuki sungai barito,
untuk kemudian berlabuh di pelabuhan Barito Banjarmasin.
Dari atas kapal Ayuk bisa melihat bapaknya yang
sudah melambai-lambaikan tangan menyambut kedatangan Ayuk dan ibunya.
Bahagia rasanya akan berjumpa dengan bapaknya, dan
akan berkumpul kembali dengan bapaknya membuat rasa pusing akibat mabuk laut,
hilang seketika.
Begitu kapal berhenti tepat di bibir pelabuhan dan
sauh pun telah ditambatkan, tangga turun untuk penumpang pun diturunkan. Para
penumpang dengan sabar menanti giliran untuk turun, ada juga yang berebut untuk
naik, para poter yang akan membawakan barang-barang bawaan penumpang.
“ Kita sabar aja Yuk...gak usah ikut
berdesak-desakkan, toh nanti kita akan turun juga...jangan lupa baca Basmalah
dan Al-Fatekhah waktu menginjakkan kaki pertama kali di tanah Boerneo ya...”
“ Iya...Mak, Ayuk selalu mengingatnya...”
Tak lama kemudian giliran mereka untuk turun kapal
pun tiba.
Di bawah tangga untuk turun penumpang, Sofian sudah menunggu anak
dan istrinya. Setelah mengucapkan syukur Alhamdulillah dan membaca Fathekah
mereka saling berpelukkan.
B e r s a m b u n g....
Posting Komentar
Posting Komentar