Enam bulan kemudian, sejak kedatangannya ke
Kalimantan Imoeng, pulang ke Kudus untuk mengambil kedua anaknya yang masih
tertinggal. Namun sayang tidak semua
anaknya mau diajak, hanya Ais, anaknya paling kecil yang mau diajak ke
Kalimantan, sedang Dwi tidak mau ikut serta.
Kepulangannya ke Jawa juga digunakan untuk melunasi
sebagian hutang-hutangnya.
“ Kurang berapa lagi Lek…hutang saya “ Tanya Imoeng
pada salah seorang rentenir yang dihutanginya yang juga tetangganya waktu masih
tinggal di Kudus.
“ Masih kurang banyak Mbak!, karena beberapa bulan
tidak dibayar jadi bunganya berlipat “
“ Kan setiap bulan saya sudah mengirim uang untuk
menyicil kenapa masih segitu..?”
“ Itu baru bayar bunganya, belum modalnya dan juga
bunga beberapa bulan sebelumnya tidak pernah bayar kan…!”
“ Ah…yang bener! aku gak mau kalau seperti itu!
Tidak akan selesai kalau begitu, aku hanya mau membayar jumlah hutang waktu aku
pinjang dan bunga yang wajar, aku tak mau bayar bunga berbunganya…” Protes
Imoeng pada renternir itu.
“ Tidak bisa,Mbak. Kalau hutang sama saya , ya harus
ikut aturan saya.”
“Tidak bisa, besok saya balik ke Kalimantan, saya
hanya akan kirim uang jumlah yang saya hutang saja..kalau tidak mau lebih baik
tidak usah saya kirim uang lagi. “
“ Ya …sudah pokoknya kamu harus tetep kirim uang
lunasi hutang-hutangmu.” Saling ngotot antara Imoeng dan renternir akhirnya
berakhir, karena Imoeng tak banyak waktu meladeni renternir itu.
Imoeng balik lagi ke Kalimantan dengan membawa
catatan masih ada 2 orang lagi yang harus dia lunasi hutangnya. Dengan rentenir
itu sudah tidak begitu banyak, menurut hitungannya.
Perjalanan sendiri naik kapal dengan Ais, yang masih
berusia 6 tahun membuat Imoeng harus
kuat karena di dalam kapal Ais badannya sempat deman tinggi, mungkin tidak kuat
dengan angin laut, ini juga menjadi perjalanan laut pertama kali buat Ais.
Imoeng harus kuat diperjalanan agar bisa menenangkan anaknya yang agak rewel.
Sampai di pelabuhan Trisakti Banjarmasin, suaminya
sudah menjemput bersama Ayuk yang terpaksa mbolos sekolah untuk menjemput ibu
dan adiknya.
Ayuk sudah sangat kangen dengan adiknya, Ais yang
sudah lebih dari 6 bulan tidak ketemu, keadaanlah yang memaksa mereka bepisah.
Tapi semua sudah berakhir mereka akhirnya sudah bisa berkumpul kembali.
“ Mbak Ayuuk…!” Teriak Ais dari atas kapal ketika
kapal hendak merapat, dan Ais melihat
Ayuk serta ayahnya sudah di bawah.
“ Ais…!” Teriak Ayuk membalas teriakan adiknya.
Setelah Imoeng dan Ais turun dari kapal. Ayuk
mencium dan memeluk adiknya agak lama
dengan penuh kerinduan, dan keharuan.
“ Mbak Ayuk kangen banget sama Ais, syukurlah kita
sudah kumpul kembali “
“ Ais juga kangen Mbak Ayuk dan juga Bapak.”
“ Kenapa kemarin Ais ditinggal sendiri di rumah
nenek…?”
“ Sudahlah yang penting kita sudah kumpul sekarang “
potong Sofian agar anak-anaknya tidak larut dalam keharuan.
“ Ais…kita makan dulu ya, sebelum pulang ke rumah
kita, karena rumah kita masih jauh “
“ Ais mau maem sama Mbak Ayuk..”
“ Iya…kita makan semua sebelum melanjutkan
perjalanan kembali “
Selesai makan mereka singgah ke kantor KSP yang ada
di Banjarmasin dulu untuk sekedar mandi dan melepas lelah sejenak. Untuk
kemudian melanjutkan perjalanan ke Tanjung Tabalong pada malam hari.
Pagi hari mereka baru sampai ke Tabalong karena
perjalanan malam hari agak tersendat dengan banyaknya truck pengangkut batubara
liar yang beroprasi menggunakan jalan raya umum dari mulai Barabai sampai ke
Banjarmasin.
Ais senang sekali karena rumah yang mereka tempati
lain dari rumahnya di Jawa.
“ Mbak Ayuk, rumah kita tinggi ya..”
“ Ais harus hati-hati jangan main naik turun tangga
terus ya, nanti terpelosok “
“ Buk ..! besok Ais daftarkan di sekolah Ayuk ya, biar
kita bisa sekolah sama-sama “
“ Belum bisa Nak, Ais kan harus melanjutkan TK dulu,
sampai ada pendaftaran masuk SD nanti. “
“ Gak mau, Ais mau sekolah bareng Mbak Ayuk saja..”
“ Iya, Ais sekolah TK-nya juga dekat kok sama
sekolah Mbak Ayuk “
“ Besok Ibu antar bareng ya..”
Kebahagian itu sudah dapat mereka rasakan kembali,
paling tidak sedikit beban yang dirasakan Imoeng sudah agak berkurang, karena
lama berpisah dengan buah hatinya yang masih kecil membuatnya sering tidak bisa
tidur dan resah, memikirkan apa yang sedang dialami anaknya bila sedang jauh
darinya, walaupun ia percaya kalau mertuanya telah menjaga Ais dengan baik.
Tetapi bagaimanapun juga Imoeng masih memikirkan
Dwi, anak nomer 2 dari perkawinannya yang bertama dulu. Karena ternyata Dwi di
Kudus, tidak mau sekolah dan tidak mau tinggal bersama keluarga saudaranya
tetapi lebih memilih tinggal bersama teman-temannya, yang belum tentu baik
pergaulannya.
Imoeng melanjutkan aktifitasnya untuk membuat keripik
dan rempeyek kembali, sedang untuk telur
asinnya, dia harus memasan telur itik mentah dulu. Karena Imoeng ingin
meningkatkan jumlah produksi telur asinnya. Banyak toko-toko dan warung yang
sudah memesannya. Kalau awalnya hanya membuat 30 buah telur asin, sekarang dia
sudah memproduksi hampir 100 buah telur asin setiap 3 hari, untuk itu dia
membayar satu orang untuk membantu memcucikan telur asinnya.
KSP yang dipercayakan pada Sofian juga semakin
berkembang pesat, bukan hanya yang ada di Tabalong tapi hampir semua yang ada
di setiap kota di Kalimantan Selatan, maju dengan pesat. Sofian juga harus
mondar mandir untuk mengecek dari satu kota ke kota lain. Kadang-kadang dia juga mengajak anak istrinya
bila menuju ke kota yang lumayan jauh, seperti ke Sungai Danau atau ke
Kotabaru, sekalian mengajak keluarganya berlibur mengenal kota-kota di
Kalimantan Selatan.
b e r s a m b u n g....
Posting Komentar
Posting Komentar