Sudah berbulan-bulan
sepi sekali disini , hanya seorang lelaki kurus yang setiap hari menyapu
lantaiku. Dinding-dinding yang terbuat dari ukiran kayu tak pernah lagi
disentuh, dicuci ataupun sekedar dilap seperti dulu.
Hingga terasa gatal-gatal tubuhku. Kemana orang-orang yang dulu ramai menghuni
setiap bilikku.
Yang aku ingat mereka
satu per satu pamit meninggalkan aku, Entah kemana mereka. Padahal aku ingat
betul bagaimana dulu mereka satu per satu dilahirkan disini. Aku yang menjadi
saksinya. Bagaimana ibu mereka mulai hamil, dan melahirkan di sini di rumah
ini. Satu persatu mereka lahir ada tujuh aku menghitungnya.
Dulu lantaiku masih
dingin terbuat dari batu alam, tapi karena anak-anak mereka suka bermain di
lantai , mereka menggantinya dengan keramik
putih, bikin aku tambah terang namun licin. Ketika sang istri
mengandung anaknya yang ke 8 terjatuh dan darah mengalir , dan dibawa ke rumah
sakit. ‘ Ibu miskram” itu yang aku dengar ketika anak pertama mereka bertanya
perihal ibu mereka.
Dindingku dulu masih
kayu ukir utuh, sehingga aku tampak cantik. Dengan bertambahnya usia, satu persatu, dinding kamar diganti dengan
tembok yang rapat, entah apa alasannya. Karena aku tahu setelah itu mereka
kepanasan bila ada di dalam. Tak lama kemudian mereka menempeli bagian tubuhku
dengan AC. Padahal kalau aku tetap dibiarkan berdinding kayu, udara akan bebas
keluar masuk dan mereka tidak kegerahan.
Yang paling aku tidak
suka, pohon manga dan Jambu yang dulu menaungiku dari sisi barat rumah mereka
tebang. Dengan alasan mengurangi sampah dari daun yang berguguran. Padahal
setelahnya aku jadi kepanasan. Dinding-dindingku cepat kusam.
Aku yang menjadi saksi
lucunya anak-anak mereka, bila bermain petak umpet, suka bersembunyi diantara
daun telinga, eh daun pintuku. Aku menghalangi pandangan adiknya, hingga tak
juga menemukan kakaknya, sampai akhirnya
adik menangis.
Ketika satu persatu
anak-anaknya mulai remaja, sang gadis suka diapeli pacarnya. Aku pingin ketawa
sendiri melihat sang Gadis malu-malu tangannya digenggam pacarnya. Bahkan aku
melihat bagaimana si pria itu berusaha mencium gadis,
sebenarnya aku ingin menghalangi. Namun apalah aku ini.
Bapaknya suka
marah-marah bila gadisnya telat pulang, bahkan sang bapak pernah melempar sapu
ketika, ketahuan gadisnya dicium di halaman rumah yang penuh bunga sepatu.
Aduh! Hampir saja sapu itu mengenaiku.
Dindingku bisa lecet..sakit dong..
Satu persatu bangunan
ditambah di kanan kiriku, karena putra putri mereka sudah butuh kamar
sendiri-sendri katanya. Sedang aku tak bisa menampung keriuhan mereka lagi.
Namun aku suka, aku bahagia, setiap hari ada yang menemaniku, membersihkanku,
entah itu pembantunya, ibu bahkan kadang gadisnya yang cantik-cantik itu.
Yang membuatku sedih,
ketika satu persatu mereka menikah. Dan pergi meninggalkan aku. Pastilah mereka
ikut suaminya, atau mempunyai rumah sendiri.
Namun aku tetap suka
di hari minggu mereka yang dulu gadis-gadis cantik itu, pulang membawa cucu yang lucu-lucu. Aku tetap ramai
walau hanya seminggu sekali. Walaupun begitu aku mulai terasa sepi, di
hari-hari lain.
Walau tak seramai dulu
lagi, kini aku semakin diperhatikan dan dirawat tuanku yang katanya sudah
pensiun. Tuanku semakin rajin
membersihkan aku, mengecat, dan menjumputi sarang laba-laba yang ada saja
disetiap tubuhku yang semakin renta ini.
Aku sedih ketika
melihat Tuan terjatuh saat membetulkan genting di atasku. Tampaknya tuan agak
parah sehingga lama di bawa ke rumah sakit. Beberapa minggu tak melihatnya.
Hatiku sangat pilu, ketika sepulang dari rumah sakit, tuanku tak lagi bisa
berjalan biasa, kemana-mana tuan harus menggunakan kursi roda . Kasihan.
Sejak itu, aku serasa
menjadi sebuah rumah sakit. Ada saja perawat, bau obat-obatan dan suara erangan
kerap muncul di dalamku.
Aku sedih bukan
kepalang ketika akhirnya sang Tuan meninggal. Kini aku hanya dihuni istri
dan seorang pembantu. Aku dengar semua anaknya sudah berdomisili di luar kota
dan jarang pulang menenggok ibu mereka. Bagaimana pun aku tetap senang melihat
tuan ibu tetap sehat , bersemangat menjalankan bisnis pembuatan batik di sini.
Ada beberapa karyawan yang tiap hari datang untuk membatik, menjahit dan
bekerja disini. Silih berganti orang-orang yang datang disini.
Tahun demi tahun
berganti, kesehatan tuan ibu, juga semakin berkurang . Aku melihatnya sendiri
tuan ibu sering tak bisa tidur, gelisah dan kesepian. Tujuh anak yang
dilahirkan tak ada yang bersedia menemaninya disini. Hanya sebulan
sekali mereka bergiliran datang. Seorang pembantu, dan seorang perawat dikirim
untuk ibu mereka.
Kesepian terus dan terus
menggerogoti kesehatan tuan ibu, hingga ibu jatuh pingsang dan dibawa ke rumah
sakit. Saat itu aku melihat semua putra-putrinya pulang. Namun, tampaknya
mereka tergesa-gesa, mungkin mereka meninggalkan tugas di luar sana. Hingga
akhirnya tuan ibu dipanggil yang kuasa, rasa haru, sepi dan kehilangan aku
rasakan begitu mendalam.
Kini aku sangat
kesepian. Hanya lelaki yang kurus itu, yang setiap hari membersihkanku dengan
ogah-ogahan. Terus terang aku cemburu dengan bagunan kecil diujung sana. Walau
tak seluas aku, dia tak pernah kesepian. Karena beberapa anaknya yang telah
menikah tetap ditinggal disitu. Ada saja suara tangis, tertawa dari cucu-cucu
mereka.
Atau bangunan di
depanku persis, yang sepantaran dengan umurku pembuatannya. Walau bapak ibunya
juga telah tiada seorang anaknya masih
tinggal disana bersama suami dan anak-anaknya. Walau tak semewah aku, bangunan
itu tampak selalu ceria , terang dan mengasyikkan.
Entah apa salahku,
hingga tak ada lagi yang mau tinggal
bersamaku disini. Dan membiarkanku merana, sedih menjadi kenangan belaka.
Nasibku rumah
tua, walau ada yang berkata hargaku sampai milyaran rupiah, namun aku hanya
kenangan, hanya pajangan. Kesepian yang akhirnya merapuhkanku bersama rayap-rayap
itu.
Kudus, 27
November 2020
Salam hangat
Sri Subekti
Astadi
Setiap kata-kata dari cerita ini dipilih dengan begitu apik, lagi-lagi aku bisa membayangkan vibes di rumah tersebut Mbak. Suka!
BalasHapusTerima kasih apresiasinya, Mbak Ibel...sukses selalu ya..
Hapuspemilihan diksinya keren (tp,gak blh komen gitu doang ya 🤭 tp,emg bagus sih 🤫)...dibanding tulisanku yg berantakan 🤭 the best lah bu!!!
BalasHapusterima kasih apresiasinya..Mbak..
HapusMenjadi kesepian saat tua adalah ketakutan setiap yang dewasa. Hiks..ini cerita mengandung bawang ya kak...
BalasHapusiya..Mbak, semakin tua kita akan semakin merasakan sepi..apalagi klo anak2 sudah sibuk dengan kehidupannya masing2..
HapusSalam hangat Mbak Anne..
Saya sedih bacanya mbak :( seorang ibu bisa membesarkan dan merawat ketujuh anaknya, tapi belum tentu ketujuh anaknya tersebut bisa menyayangi dan merawat seorang ibunya :(
BalasHapusNaa..itu , Mbak... anak-anak kadang membiarkan ibunya kesepian, dan ibu juga sering tidak mau meninggalkan rumah yang penuh kenangan sampai akhir hidupnya..
Hapusterima kasih apresiasinya Mbak Indah..
Ceritanya kena banget, yang paling aku suka itu diceritakan dengan sudut pandang dari sebuah benda mati - rumah. Dan aku terbawa suasana pas bacanya, ngebayangin rumahnya gimana, kejadiannya gimana, bagus mba
BalasHapusbermula dari lihat rumah2 di gangku ini banyak rumah kosong, aku jadi sedih padahal rumah 2 itu masih bagus dan luas, sedangkan aku lihat di gang2 sempit banyak rumah kecil2 dengan penghuni yang banyak..jadinya sedih. Ruh rumah jadi hilang..
HapusTerima kasih apresiasinya, Mbak..
Benda2 yg kita anggap tidak hidup, sesungguhnya punya nyawa. Aku punya keyakinan itu. Jadi membaca kisah ini, aku bisa berempati, seandainya kisah ini nyata. Sebuah rumah punya roh karena perhatian dan kasih sayang penghuninya 🏘 it's not how big the house is; it's how happy the home is
BalasHapusiya..Mbak, aku sedih bila melihat rumah2 bagus tapi ditinggalkan pemiliknya dibiarkan kosong begitu saja... cahaya rumah jadi ilang, ruhnya pergi dan rumah jadi cepet rusak..
Hapusterima kasih apresiasinya..
Bagus banget bu penggambaran rumahnya jadi seolah hidup di tangan penulisnya...suka idenya, rumah yang ditinggalkan jadi suram dan sepi...
BalasHapusini bermula pada kesepian yang ada di lingkungan rumahku, Mbak...
Hapussedih rasanya lihat rumah2 kosong..
Selalu suka cerpennya Bu, ada lomba cerpen tema bebas kayaknya saya lihat di Instagram. Coba saya Carikan ya biar bisa ikutan lombanya...
BalasHapusterima kasih Mbak Dewi...yang selalu memberi inspirasi padaku..
HapusHalo mbak, salam kenal ya. Wah, cerita si rumah yang menjadi saksi bisu keluarga nahagia nih :) Kok aku merinding ya bacanya. Berasa banget seandainya akulah si rumah itu. Rumah menjadi kenangan anak2nya ydang sudah menikah dan pindah :) Sedih :(
BalasHapusterima kasih banyak Mbak Nurul, duuh bahagia banget looh..bloggku yang acak kadut gini dikunjungi Mbak Nurul. Terima kasih banget apresiasinya, Mbak.. salam hangat yaa
HapusKereeenn
BalasHapus