gambar gamelan gasbanter.com |
Kami harus segera pindah, rumah ini harus dikosongkan dalam 2 hari ini. Hal itu membuat aku dan Mas Marto , suamiku kalang kabut. Karena belum mempunyai
tempat yang memadai untuk bisa menjadi tempat tinggal kami sementara.
Sebenarnya masih ada waktu sebulan untuk kepindahan kami ke luar pulau, karena Mas Marto mendapat
pekerjaan baru di Kalimantan.
Sedangkan rumah ini telah menjadi sengketa keluarga
besar Bapak, ternyata sudah terjual sebulan yang lalu tanpa sepengetahuan kami yang menempati rumah ini. Kemarin pembeli sudah
datang ke sini dan memberi waktu 3 hari kepada kami untuk segera pindah. Mungkin
kalau tidak mempunyai barang sebanyak ini, aku tidak perlu susah payah.
Sebenarnya sih, bukan barang-barang kami pribadi. Tapi lebih banyak barang-barang
peninggalan Almarhum ibu bapakku. Yang semua bernilai sejarah bagi keluarga besar kami.
Setelah semua kakakku menikah dan mempunyai rumah sendiri tidak ada yang
mau membawa serta barang-barang keluarga peninggalan orang tua kami. Walaupun mempunyai nilai jual karena
termasuk barang kuno, namun bapak ibu dulu sudah berpesan agar jangan menjualnya barang-barang peninggalan turun temurun ini. Termasuk diantaranya seperangkat gamelan, alat musik tradisional
Jawa yang menjadi kebanggaan bapak pada waktu itu.
Kami bisa saja kontrak sementara
sebelum pindah ke Kalimantan. Yang menjadi beban pikiranku adalah
seperangkat gamelan, peninggalan Almarhum bapak. Dimana aku harus menyimpan.
Karena untuk barang-barang lain seperti almari kuno, meja-kursi dan ranjang kayu jati tua sesuai kesepakatan akhirnya kami jual. Namun tidak untuk seperangkat gamelan
ini. Karena gamelan ini mempunyai nilai historis yang sangat tinggi bagi keluarga besar turun temurun, gamelan ini sudah mengandung ruh keluarga.
Masih ada waktu dua hari untuk memikirkan, bagaimana gamelan ini akan
disimpan. Aku sudah bernego dengan salah satu sekolahan SMP yang letaknya tidak jauh
dari rumah ini.
“ Maaf Bu, sekolah tidak mempunyai tempat untuk meletakkan gamelan. Dan kami
juga tidak mempunyai guru yang bisa memakai dan mengajarkan gamelan pada
siswa” begitu penolakan halus Kepala Sekolah waktu aku menemuinya kemarin.
Aku juga mendatangi sanggar tari, yang ada di kota kami. Namun jawabannya
sama saja.
“Kami sudah punya sendiri seperangkat gamelan yang masih baru, Bu..” kata pengurusnya. “Kami tidak mempunyai tempat untuk menaruh kalau ada
seperangkat gamelan lagi, itupun hanya beberapa orang saja yang mau belajar
menabuh gamelan. Jadi secara hitungan ekonomi kami rugi kalau menambah gamelan
lagi”.
Sudah sebulan ini aku berkeliling dari sekolah ke sekolah, ke sanggar-sanggar seni dan juga komunitas pecinta kebudayaan. Namun hasilnya
nihil.
Padahal kami tidak akan menjualnya, hanya menitipkan sementara dan silakan
dipergunakan.
Rupanya sudah sulit menemukan orang yang bener-bener mencintai
kesenian Jawa, khususnya memainkan gamelan.
**** **
Malam ini menjadi dua malam
terakhir kami tinggal disini, sebagian barang-barang sudah dipindah ke rumah
kontrakan yang baru. Hanya tinggal gamelan dan barang-barang di kamarku yang
belum dipindahkan.
Mataku tak bisa terpejam, rasanya tidak rela meninggalkan
rumah tempat aku lahir, tumbuh dan menikah disini. Seribu kenangan tersimpan di
rumah ini. Memang rumah ini sudah dibilang tidak laik huni, beberapa kayu,
jendela, dan daun pintu sudah lapuk dimakan rayap. Genting di bagian belakang juga sudah banyak yang lepas, kalau hujan air membanjiri ruang belakang rumah ini.
Dulu pada waktu aku
masih kecil, rumah ini termasuk yang paling bagus diantara rumah tetangga di desa ini. Berdinding kayu ukir dan tembok sebagian dengan lantai marmer yang berkilau, dan jendela lebar yang bisa pasang-lepaskan.
Bahkan bagian kayu dinding depan bisa dilepas bila sedang ada
hajatan atau perkumpulan di rumah kami.
Karena rumah kami termasuk paling luas
halamannya di kampung ini, jadi segala macam kegiatan sering diadakan
di rumah ini.
Selain menjadi perangkat desa, bapak juga mengajar kerawitan (
memainkan alat musik tradisional Jawa / gamelan) kepada siapa saja yang mau
belajar, tanpa dipungut bayaran.
Hanya sekali tempo bila sedang diadakan bancaan, para murid membawa jajanan yang dia punya untuk dimakan bersama. Kadang-kadang bapak diundang untuk pentas mengiringi tarian Jawa, atau tembang-tembang Jawa
di tempat orang hajatan, atau acara-acara formal lainnya.
Namun bertambahnya
waktu, gending-gending Jawa dan suara gamelan semakin kurang diminati. Mereka
lebih memilih orgen tunggal atau suara tape recorder, daripada suara
gamelan asli yang dinilai ribet dan ketinggalan jaman.
Sejak aku masih kecil, bapak sudah
mengenalkan padaku bagaimana cara memainkan gendang, peking, demung, saron,
bonang, kenong, gong dan slenthem. Sambil nembang Khinanti, Pangkur, Pucung atau
Dhandanggula. Namun aku kurang begitu telaten, sehingga tidak begitu mahir
seperti bapak. Apalagi kesibukanku sekolah mulai banyak menyita waktu , sehingga waktu berlatih kerawitan bersama bapak semikin berkurang. Bahkan sering tidak sempat
sama sekali.
Bapak begitu sabar mengajarkan, hingga kami
bisa memainkan satu persatu alat musik gamelan.
“Yen ora kowe sing neruske trus
sopo meneh, Nduk” Begitu permintaan bapak pada waktu itu. Bila aku malas belajar
kerawitan.
Sebenarnya semua putra bapak juga diajari, tetapi hampir semua kakakku
yang laki-laki melanjutkan sekolah ke kota selepas SMP, dan jarang berkesempatan
pulang dan belajar kerawitan pada bapak secara leluasa. Dua mbakyuku juga sudah menikah dan tinggal di luar kota bersama keluarganya, padahal mereka belum belajar gamelan dengan
sungguh-sungguh.
Hanya bapak yang masih setia pada gamelannya. Terkadang sampai
malam bapak memainkan saron sambil nembang Dhandanggula , atau memainkan
demung sambil nembang Pangkur.
Suara gamelan sudah menjadi musik pengantar tidur
kami sehari-hari. Bunyi gamelan itu seolah menyuarakan hati bapak yang paling
dalam. Apalagi tembang-tembang yang dilantunkan bapak, syarat makna yang
dalam untuk kehidupan. Seolah-olah bapak sedang memberi nasehat kepada kami,
bila sedang memainkan gamelan dan nembang Jawa.
Seiring bertambahnya waktu jenis musik campursari berkembang dan diterima masyarakat yang cenderung lebih suka
kepraktisan dan hinggar-bingarnya. Apalagi jenis musik setengah dangdut ini lama-kelamaan
semakin lebih disukai masyarakat.
Gamelan semakin tersisih, seperti kehidupan
kami. Bagai kata-kata dalam tembang pangkur yang seling dilantunkan bapak.
“Mingkar-mingkuring angkara- Akarana- Karenan mardi siwi- Sinawung resmining
kidung- Sinuba sinukarta-Mrih kretarta- pakartine ngelmu luhung- Kang tumrap
ning tanah Jawa- Agama ageming aji...
Jinerjening Wedhatama – Mrih tan kemba-
kembanganing pambudi- Mangka nadyan –tuwa pikun- Yen tan mikani rasa-Yekti sepi-
asepa lir- sepah samun- samangsane pasamuan- Gonyak-ganyuk nglelingsemi- Nggungu
karsane priyangga- Nora ngganggo peparah lamun angling- Lumuh ingaran ba...lilu.
Uger gu..ru a..leman- Nanging janma- ingkang wus was padeng semu- Sinamun ing
samu ..dana- sasadone adu manis”. (Terjemahan) Menghindari sifat jahat, sebab
senang membimbing anak, dirangkum ke dalam sebuah kidung, dihormati dan
dimuliakan, supaya tercapai maksud dari ilmu luhur, bagi tanah Jawa, agama
adalah busana berharga. Disusun di ajaran utama, tidak boleh malas bermandikan
budi kebaikan, maka walaupun tua dan pikun, kalau tidak mengolah rasa, sungguh
sepi dan hampa seperti sampah tersembunyi, ketika diperkumpulan, serba canggung
dan memalukan.
Tembang Pangkur itu seolah terdengar nyaring dengan sayup-sayup
alunan demung mengiringi. Aku merasakan bapak hadir malam ini. Seolah bapak
sedang memberiku semangat agar aku mendapatkan jalan keluar untuk seperangkat
gamelan ini besok pagi.
Sayup-sayup kokok ayam terdengar dari kejauhan, pertanda
Adzan subuh segera terdengar. Walau mata berat dan badanku terasa tertikam gada,
aku harus segera bangun untuk mengemasi barang-barangku.
Pagi ini aku menyewa
Colt Pick-up untuk mengangkut barang-barang yang masih tersisa. Rasa sedih dan
berat meningalkan rumah ini harus segera aku hapus. Karena pembeli akan segera
merobohkan rumah ini, dan mengganti dengan bangunan baru yang tentu akan berkesan mewah dan modern.
Semua cerita tentang rumah ini, mungkin juga hanya akan tersisa sebagai
kenangan saja kecuali di lubuk hatiku yang akan lekat sepanjang hidupku.
******
Ketika sedang sibuk mengemas barang-barang untuk dinaikan ke mobil,
ada sebuah mobil masuk ke halaman.
Aku kira pembeli rumah ini, ternyata tidak.
“
Selamat pagi, Bu”
“Selamat pagi juga, Pak. Ada apa ya?”
“Saya dari Keluarga
Soelarso, apa benar ibu mau menjual seperangkat gamelan?” tanya tamu tersebut kepadaku.
“Maaf, Bapak. Saya
tidak akan menjual gamelan tetapi menitipkan sampai batas waktu perjanjian nanti, dan silakan
gamelan dipergunakan dan manfaatkan” , aku memberi penekanan agar tidak terjadi salah persepsi dengan gamelan bapak ini.
Karena bagaimana pun aku harus bisa memegang amanat bapak, untuk tidak menjual gamelan ini dalam keadaan
sesulit apapun.
“ Baiklah, Bu. Saya setuju. Nanti kita bikin surat perjanjian.
Saya akan memanggil armada untuk mengangkut gamelan Ibu. Ibu bisa ikut kami,
agar tahu kenama gamelan ini dibawa” . Alhamdulillah ternyata tamu tersebut mengerti keadaan kami.
“ Iya, Bapak. saya setuju dan mengucapkan terima-kasih. Kami akan mengemasi barang-barang ini dahulu. Kemudian baru memberesi gamelan
itu.”Kataku sambil menunjuk barang-barang yang sedang kami angkut ke atas mobil.
“Ibu tidak perlu kwatir, saya bisa menyuruh beberapa orang untuk
mengemasi dan menaikan gamelan itu ke truck yang telah kami sediakan.”
“Terima kasih, Pak.”
“Bila ibu
membutuhkan dan akan mengambil gamelan ini kembali, kami juga siap melepaskannya
sewaktu-waktu. Nanti ada dalam Surat Perjanjian ini.”
“Baik, Pak. Saya setuju
dan mengucap terima kasih .”
“Apakah ibu setuju, bila ibu mengajarkan cara
memainkan gamelan itu kepada kami, agar kami bisa mempergunakan gamelan ini
dengan baik”
“ Baiklah, Pak. Saya hanya punya waktu 1 bulan sebelum pindah ke
Kalimantan, untuk mengajar kerawitan pada keluarga Bapak”
“ Ibu jangan kuatir,
kami akan memberikan imbalan atas jasa ibu mengajar kami” “Alhamdulillah,
apabila semua dari kerelaan Bapak, karena saya tidak mau menjual jasa untuk
sesuatu yang sangat berharga dalam hidup kami”
“ Jangan kuatir, Bu. Kami hanya
memberi sekedar ucapan terima kasih”
Gamelan bapak akhirnya mendapat tempat dan
orang yang tepat untuk merawat dan mempergunakan sebagaimana mestinya. Aku juga
tidak menyangka keluarga Soelarso itu mentransfer uang sebegitu banyak sebagai ucapan
terima kasih karena aku telah mengajarkan cara memainkan gamelan sekaligus mengajarkan beberapa tembang Jawa yang dulu diajarkan Bapak kepadaku.
Akhirnya kami mendapat generasi penerus untuk tetap melestarikan kebudayaan Jawa
yang dulu sangat diwanti-wantikan bapak kepada kami. Walaupun kami tidak
mempunyai ikatan keluarga, namun saya menganggap keluarga Bapak Soelarso sebagai
keluarga baru kami.
Semoga musik tradisional tidak punah tergerus jaman.Masih
ada anak cucu yang masih tetap mencintai musik tradisional walaupun keadaan
sudah berubah.
Kudus 11 Desember 2020
Salam hangat, salam fiksi
Sri Subekti Astadi
Seru mba ceritanya. Jadi inget pas SMP aku belajar karawitan megang bonang. awalnya susah , pas udah bisa berasa mo nyombong hihihi. Bangga aja gitu, wlau gurunya galaknya amit-amit, jadi kenangan tersendiri. Makasih mba cerpennya jadi membangkitkan kenangan masa lalu.^^
BalasHapusBetul ya mbak, jaman sekarang udah jarang yang masih mencintai musik tradisional, udah pada tergantikan dengan alat musik modern😅
BalasHapusGamelan sekarang kurang di minati anak2 muda kenapa ya? Dulu di sekolah pasti ada pelajaran kesenian khusus belajar gamelan sekarang masih ada ga sih?
BalasHapusBaca cerita gamelan ini aku dulu pernah diajarin gamelan di SMA, tapi bukan gamelan jawa, lebih khas sunda karena sekolah ku di tanah sunda. Sekarang emang sulit yang suka gamelan ya, semoga budayanya tetap lestari
BalasHapusSuka banget cerita ini Bu, sarat makna..pengen bangat bisa belajar musik tradisional sayang banget kalau punah...
BalasHapusCerita yang menginspirasi. Apalagi ada unsur budaya. Suka dengan musik tradisional. Sukses mbak ceritanya
BalasHapus