Bekal Makan Untuk Suami

Posting Komentar

 

 

sumber gambar : idntimes.com

Dari rasa turun ke hati, begitu ungkapan  yang aku racik sendiri untuk menyemangati diri sendiri agar tidak bosan dan capek ketika harus pagi-pagi bangun untuk menyiapkan bekal makan siang buat suami. Entah aku dianggap  kuno, pelit atau apalah, kutakkanpeduli.

Karena nyatanya suamiku selalu senang dan memakan bekal yang selalu aku bawakan saat beliau hendak berangkat kerja.  Padahal kalau dipikir-pikir mending menyantap makanan yang  hangat saat dihidangkan  kantin di tempat kerja. Namun kenyataannya suamiku lebih memilih bekal yang sudah aku masak dari jam 3 pagi.

Iya, dari jam 3 pagi karena suami harus berangkat kerja jam setengah lima. Sayur, ikan dan camilan yang sudah aku siapkan dan kuracik malam harinya disimpan di kulkas dulu, baru setelah menunaikan sholat sepertiga  malam akhir kegiatan di dapur yang mengasyikan  tetapi  kadang membuat spot jantung  takut, gagal, gosong atau tak cukup waktu. Memasak cepat, kilat, enak dan harus selesai  tepat waktu. Semua itu harus aku lakukan agar suami nyaman bekerja.

Pernah pada suatu ketika aku berpikir praktis, ah biar saja lah suami ikut makan kantin kan lebih enak masakannya, lebih hangat dan fresh, eh ternyata hal itu justru menjadikan suami tidak makan seharian.

Saat itu, pada kisah yang aku  ceritakan ini terjadi  kami tinggal di sebuah  desa  di  Kalimantan Selatan, suami bekerja di perusahaan pertambangan. Lokasi pertambangan  atau job site  ada jauh di pedalaman hutan jauh dari perkampungan penduduk.  Untuk menuju lokasi kerja ada bis antar jemput karyawan yag sudah ditentukan di titik-titik tertentu, karena kendaraan umum baik itu sepeda motor maupun mobil tidak bisa masuk ke area pertambangan karena berbahaya dengan lalu- lalang kendaraan alat berat , jadi keamanan atau sefety harus diutamakan selain untuk keamanan lahan  pertambangan itu juga.

Dengan kondisi seperti itu tidak mungkinlah ada orang luar selain karyawan yang bisa bebas keluar-masuk  job site.  Termasuk juga pedagang makanan tak ada satu pun yang bisa masuk untuk berjualan di sana. Jadi untuk makan siang, jajan, rokok karyawan harus menyiapkan sendiri. Hanya minuman saja yang tersedia di tempat berkumpul karyawan saat istirahat. Bagi mereka yang tidak ada yang menyiapkan bekal bisa pesan di warung-warung tertentu dan satu jam sebelum  saat istirahat ada bis-bis  karyawan yang akan mengambil  pesanan mereka dan membawa masuk ke  area tambang sesuai job site pemesannya.

Seperti  yang aku ceritakan di atas , saat suamiku ikut pesan makanan di warung, entah si warung yang salah memasukkan pesanan tidak ke bis yang tepat,  memang tidak dibuatkan,  atau  sudah diambil temannya yang beristirahat lebih awal yang jelas bungkusan nasinya tidak  ada. Dan bis juga tidak mungkin kembali lagi ke warung untuk menanyakan pesanan yang kurang. Jadi lah hari itu suamiku lapar seharian. Padahal pekerja tambang apalagi operator alat berat itu adalah pekerja  keras yang butuh banyak energi. Kerja dari  habis subuh sampai maghrib tanpa makan begitu ah rasa.

Sejak saat itu, aku selalu berusaha untuk memasak sendiri  untuk sarapan bekal makan siang, walau dengan masakan yang sederhana dan seadanya.  Kata  suamiku, itu lebih lezat  dan nyaman.

Soal memasak  dini hari bukan hal yang mudah juga buat kami saat itu. Tinggal di pedalaman dengan kondisi rumah panggung dari kayu, dengan peralatan yang sederhana memasaknya pun menggunakan  kompor minyak tanah dan tungku kayu, ditambah listrik yang sering padam pasti membuat siapa pun ogah-ogahan untuk turun ke dapur.

Ada cerita yang membuat aku merinding kalau mengingatnya, pada  suatu dini hari saat  hendak memulai memasak   aku melihat 5 ekor  kalajengking , hewan beracun yang mempunya 2 capit  dengan ukuran cukup besar keluar dari celah-celah dinding yang terbuat dari kayu.  Sontak aku menjerit dan suami mengambil parang mengejarnya. Setelah tak begitu panik aku mengambil Baygon  dan menyemprotkan ke area dinding , takut ada binatang lain yang muncul.

Bukan hanya kalajengking  saja yang mengganggu aku saat masak bekal   untuk suami, karena di bulan-bulan tertentu ada serbuan  hewan kaki seribu kecil-kecil yang jumlahnya ratusan atau ribuan menyerang semua sudut rumah  termasuk dapur dan kamar tidur. Jadi aku harus banyak  menebar kapur semut  berlapis-lapis agar si kaki seribu tidak masuk mengganggu, walaupun pasti saja ada dua-tiga yang lolos dari pagar lapis baja eh lapis kapur sirih.

Bertahun-tahun masa itu sudah lewat, kami sudah kembali tinggal di Jawa Tengah, pekerjaan suami  masih hampir sama namun kondisi yang berbeda. Kalau dulu suami kerja di pertambangan menjadi  operator alat berat sekarang suami menjadi sopir  truk yang harus melakukan perjalanan ke luar kota dengan jarak yang lumayan jauh.

Namun begitu kebiasaan membawa bekal makan dan makanan ringan tetap masih berlanjut. Kalau dulu di pertambangan tak ada penjual berbeda dengan sekarang yang sepanjang jalan berjejer warung makan, restoran dan cafe. Demi keamanan, kebersihan dan jaga-jaga misalnya, susah ketemu warung yang cocok dan menyediakan  area  parkir untuk truk besar , jadi bagaimanapun membawa bekal sendiri adalah hal paling membuat suamiku lebih nyaman. Mungkin tidak takut  sewaktu-waktu lapar.

Begitulah, dari rasa turun ke hati. Walaupun istrinya bukan jago masak tetap saja masakannya membuat nyaman di hati.

Artikel ini adalah bagian dari latihan komunitas LFI support by BRI


 


srisubekti.com
wife ordinary, writer, fiksianer, kompasianer, Content creator
Terbaru Lebih lama

Related Posts

Posting Komentar